Tuesday, November 13, 2007

Reformasi Tak Punya Arah


Rupublik Indonesia dalam decade lima puluh tahun pertama, melalui program pembangunannya yang berkelanjutan, telah menempatkan diri menjadi salah satu bangsa dengan pembangunan tercepat di dunia, menjadi sebuah bangsa yang dikenal dalam pergaulan masyarakat international.
Kesuksesan pembangunan nasional berubah menjadi bencana ketika dirasakan bahwa pembangunan berbasis pendekatan demographic berakibat timpangnya infrastruktur ekonomi. Sebab pada dasarnya tidak ada perubahan signifikan dibandingkan dengan masa penjajahan. Jika pada masa kolonial eksploitasi sumber daya alam Indonesia, bahagian terbesar hasilnya hanya untuk membangunan Negeri Belanda.
Pada era kemerdekaan, eksploitasi sumber daya alam meski oleh bangsa sendiri tetapi hasilnya tidak menumbuhkan infrastruktur mamadai bagi wilayah setempat. Bahkan cenderung marginal akibat metoda pembangunan demographic approach tadi. Jadi kehidupan tidaklah berbeda setelah republic ini diproklamasikan bahkan lebih parah lagi ketika sumber daya alam habis terpakai, sementara hasilnya hanya untuk kehidupan berpola konsumtif wilayah padat penduduk.
Sebaliknya wilayah berpenduduk tipis namun padat potensi, infrastruktur bagi pembangunan sumber daya alam terbaharukan terabaikan begitu saja menyebabkan bangsa ini kehilangan daya saing dan kearifan budaya local yang protective terhadap sumber daya alamnya.
Problema ini dirasakan semakin mencekam ketika Indonesia dilanda krisis multi dimensi, rentetan mulai dari krisis sosial, ekonomi dan politik bahkan budaya. Krisis budaya karena bangsa ini telah kehilangan filosofi sebagai landasan berpijak kehidupannya. Seruan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dimaksudkan untuk mengatasi krisis yang seterusnya mendjadi gerakan reformasi.

Namun disayangkan reformasi dimaknai terbatas pada upaya mengembalikan ideologi politik rakyat kedalam tatanan kehidupan kenegaraan. Reformasi sepatutnya bermakna perubahan kepada bentuk yang lebih baik, tetapi sekarang perdebatan atau lebih tepatnya konflik kepentingan masih terus berlangsung menyebabkan reformasi tidak punya arah yang seyogianya menjadi konsensus nasional kehidupan berbangsa. Makna semuanya adalah tantangan menyelesaikan permasalahan masa depan yang harus dilakukan sekarang secara tersistem.