Friday, March 21, 2008

Penolakan Calon Gubernur BI

Proses pemilihan Gubernur BI sangat dipenuhi intrik politik sebagaimana diramaikan di DPR mengindikasikan betapa kepentingan politik sesaat telah mengesampingkan kebutuhan pemimpin profesional.

Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaanya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 maka terdapat hal mendasar selain mengenai kekuasaan. Disebutkan, ”hal hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain akan diselenggarakan secara seksama dan dalam tempo sesingkat singkatnya”. Hal lain lain itu diantaranya adalah yang berkenaan dengan keuangan dan moneter.

Pertama, berdaulat atas diri sendiri yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan berfikir, menyatakan pendapat atau kebebasan pers, bermasyarakat, beroraganisasi, menjalankan hukum serta menyelenggarakan pemerintahan, dll, yang secara keseluruhan bermuara pada hak politik setiap warga negara menyangkut hal kekuasaan.

Kedua, setiap warga negara berhak mempertahan wilayah teritorial negaranya. Setiap warga negara berhak untuk memegang senjata dalam konteks mempertahakan kemerdekaannya.
Ketiga, kedaulatan untuk menentukan nilai budidaya, nilai atas kreatifitas dan produktivitas setiap warga negara. Wujud kemerdekaan ekonomi dalam bentuk konkrit nilai tukar atau mata uang.

Begitu proklamasi di kumandangkan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tokoh tokoh kompeten mulai merancang nilai tukar yang disebut sebagai Oeang Republik Indonesia atau ORI. sebagai ekspresi bangsa yang merdeka. Selanjutnya Bank Negara Indonesia pada 30 Oktober 1946 mengedarkan ORI menggantikan Gulden dan Yen pada saat itu.

Setelah Konfrensi Meja Bundar yang menghasilkan penyerahan kedaulatan pada 25 Desember 1949, dalam hal ini De Javsche Bank bagian dari kerangka warisan Pemerintah Nederland Indie, ditunjuk sebagai bank sentral selanjutnya berubah menjadi Bank Indonesia. Melalui de Javasche Bank diatur ketersediaan uang untuk mampu membayar hutang.

Sebagian pendapat menyatakan hal ini sebagai nasionalisasi de Javasche Bank. Tetapi terasa lebih tepat dikatakan sebagai warisan utang kolonial, pelimpahan utang pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebesar 44 triliun rupiah yang baru lunas pada 2003. Menerima de Javashe Bank dengan guldennya dam menolak ORI dari Bank Negara Indonesia 1946 agaknya merupakan kesalahan sejarah.

Tulisan ini dimaksudkan untuk bertukar pandangan dan pendapat mengenai betapa pentingnya Bank Indonesia dalam konteks kekeuasaan negara. Realitasnya adalah eksitensi Bank Indonesia mengendalikan kebijakan moneter republik ini. Posisi rupiah dalam percaturan mata uang dunia merupakan gambaran apakah kita memang sudah merdeka atau tidak bahkan mempengaruhi martabat bangsa ini dimata internasional.

Bank Indonesia dalam kebijakan moneter hendaknya terbebas dari pengaruh tekanan kepentingan politik sesaat baik dari representasi mayoritas maupun minoritas di DPR. Pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang dipenuhi intrik politik sebagaimana diramaikan di DPR mengindikasikan betapa kepentingan politik sesaat telah mengesampingkan kebutuhan akan peminpin profesional.

Dua calon yang diajukan berdasarkan hak prerogative presiden tentu merupakan figur terbaik peringkat pertama. Dengan penolakan kedua calon tersebut maka sekarang akan ditampilkan calon terbaik pada peringkat kedua. Dengan demikian adalah suatu keputusan politik seperti ketika para pemimpin kita menerima de Javasche Bank. Dengan penolakan itu berarti kesalahan sejarah yang kedua kalinya dalam konteks moneter Indonesia