Thursday, April 05, 2007

Nyanyian Sang Menteri: Penomena Terbentuknya Regim Baru

“…nantikan fakta persidangan selanjutnya dan jika ternyata ada penomena persekongkolan antara eksekutif dengan legislative maka ini adalah pertanda bahwa gerakan reformasi sedang dalam proses mejadi regim baru".

Mengalirnya dana Departemen Kelautan dan Perikanan ke komisi tiga DPR merupakan fakta persidangan jika kemudian pengadilan mendapatkan klarifikasi kebenaran “nyanyian sang menteri” oleh komisi tiga DPR dalam persidangan pula. Lengkaplah sudah gambaran bagaimana proses politik uang berlangsung untuk melahirkan sebuah undang undang. Sementara ini agaknya sudah terbentuk suatu opini publik bahwa pengakuan tersebut adalah benar adanya tanpa menunggu fakta dari sisi lainnya dalam persidangan.

Maksudnya, apakah dana tersebut diberikan karena DKP dipaksa? Atau dengan dana itu pihak DKP sendiri memaksa komisi tiga untuk menggolkan rancangan UU yang mereka ajukan?. Atau adakah hal tersebut merupakan persekongkolan antara keduanya? Kita harus mempu menunggu untuk tidak mempengaruhi pengadilan. Namun kita nantikan fakta persidangan selanjutnya dan jika ternyata ada penomena persekongkolan antara eksekutif dengan legislative maka ini adalah pertanda bahwa gerakan reformasi sedang dalam proses mejadi regim baru.

Jadi sekarang terlepas dari masalah uang atau masalah korupsi atau apalah namanya dari sisi materil. Tetapi lebih kepada aspek moril yaitu masalah cara berfikir dan bertindak pejabat penyelenggara negara. Sangat ironi dan menyakitkan memang, bahwa untuk menghasilkan sebuah undang undang yang akan menjadi acuan tata kehidupan bermasyarakat bernegara harus diselesaikan justeru dengan cara inkonstitusional melalui proses politik uang seperti itu.

Hal ini sebenarnya bisa dihindari manakala seorang dengan kapasitas menteri mampu mengatakan tidak akan memberikan apapun sesuai sumpah jabatannya. Demikian pula sebaliknya jika yang namanya anggota komisi tiga DPR menolak dana dari DKP tersebut meski dibawah tekanan, paksaan atau ancaman sekalipun. Jadi apapun alasannya, kejadian mengalirnya dana DKP ke komisi tiga, secara hukum dan moral tidak dapat diterima. Jangan katakan karena hal serupa juga dilakukan pihak lain, lantas dianggap syah syah saja karena sudah begitu kebiasaanya.

Agaknya ada ketidak percayaan dari sang menteri bahwa rancangan undang undang yang diajukan dapat diterima di DPR sehingga harus mengeluarkan dana pelicin. Sebaliknya ada ketidak percayaan komisi tiga bahwa kepentingan tersembunyi dibalik rancangan itu yang kemudian harus dibayar kalau ingin diloloskan menjadi undang undang. Inilah yang menjadi pangkal terjadinya politik uang. Kalau proses politik dibangun dari saling percaya tentu akan tumbuh perdebatan konstruktif karena didasari niat demi kesejahteraan rakyat bukan demi kantong sendiri.

Kasus serupa membuat publik meyakini bahwa pada masa ini korupsi lebih marak ketimbang masa orde baru. Mengapa? Karena kita sudah terlampau sering menyaksikan potret buram semacam ini yang sebenarnya menggambarkan seberapa parah penyakit penyelenggaran negara kita. Kita tentu tidak ingin kalau Negara Republik Indonesia tercinta mati merana karena penyakit akut seperti diatas. Kita harus mempu melakukan diagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat agar bisa sembuh dari kenistaan ini.

Ketika awal gerakan reformasi digalang, kita mengembangkan ketidak percayaan kepada regim orde baru. Sekarang, kita nantikan fakta persidangan selanjutnya dan jika ternyata ada persekongkolan antara eksekutif dengan legislative maka ini adalah pertanda bahwa gerakan reformasi sedang dalam proses mejadi suatu regim baru. Semoga masih banyak diantara kita berfikiran jernih, mampu bertindak arif dan bijaksana.

No comments: