Monday, February 04, 2008

Aku Sungguh Berduka


Bertepatan dengan hari wafatnya Pak Harto, seminggu yang lalu, di kampoengku telah pula berpulang ke rahmat Allah SWT, si fulan bin fulan. Almarhum adalah warga biasa, dia adalah dia, bukan pejabat bukan pula orang jahat. Tanpa kerepotan berlebihan, jenazah diselenggarakan dengan seksama, banyak kerabat melayat termasuk aku melakukan takziah menyampaikan dukacita.
Selesai dimandikan, dikafan, disholatkan, diantar kepemakaman hanya dengan usungan keranda tanpa mobil dengan sirene tolat tolet. Karena memang didesa yang jalannya tidak dapat masuk mobil.
Ketika jenazah masuk keliang lahat dikumandangkan azan diiringi pembacaan surah Yaasin. Keluarga dan kerabat nampak tabah menghadapinya realitas kematian sebagai bagian dari perjalanan menuju keabadian. Tangis meski tanpa air mata memang manusiawi adanya.
Eh, maaf ada satu yang terlewatkan, ketika sholat jenazah dan imam selesai mengucap salam, pada saat itu oleh ustaz ditannyakan kepada seluruh hadirin. Apakah si fulan yang meninggal ini adalah orang yang baik. ”choir” jawab jamaah. Ditanyakan tiga kali dijawab tiga kali. Ada testamen yang menyatakan bahwa almarhum adalah orang yang baik.
Upacara ditutup dengan khutbah talqien, doa dan tabur bunga seadanya. Semuanya serba biasa, almarhum mulai menjalani kehidupan yang lain. Yang luar biasa adalah mereka yang masih hidup.
Menjadi luar biasa karena ada saja yang memberi komentar kepada yang sudah almarhum. Komentarnya itulah yang menimbulkan konflik dan nyaris insiden. Anda ingin tahu bagaiama sih komentar yang nyaris menimbulkan baku bacok. Entah karena terobsesi penyataan para ”tokoh” di teve maupun koran. Dengan nada minor, si Fulus berucap ” ya sebaiknya beliau kita ampuni saja” begitu lagaknya seperti ketua partai kasih komentar sehabis bezuk ke RSPP. Rupanya omongan ini sampai pula ketelinga kerabat dan terus merambat ke ahli waris almarhum.
Dalam fikiran dan adab orang kampung, tak sepantasnya kita yang sehat memposisikan yang sakit sebagai orang bersalah. Apalagi jika dalam keadaan sakaratul maut. Ucapan kita ampuni saja bermakna bahwa yang barusan kita bezuk adalah orang yang bersalah.
Ucapan seperti itu dalam konteks sehabis bezuk terdengar angkuh dan tidak berdasarkan azas humaniter praduga tak bersalah.
Selayaknya kita yang sehat justeru yang berkesempatan minta maaf kepada yang sakaratul maut. Sebab beliau tak mungkin lagi mengucapkannya secara pribadi. Oke kita kembali ke bahasan semula.
Selanjutnya anda bisa menebak bahwa keluarga almarhum minta penjelasan akan yang dimaksud dengan ”diampuni saja” dan siapa saja ”kita” itu tadi. ” Sejak jaman reformasi dia selalu menghujat orang tua kami, mengatakan tanahnya diserobot tetapi tidak bisa membuktikan apapun di pengadilan, meski sejari miringpun dia tidak bisa memberi bukti apa apa, mengapa terus menyebar fitnah bahkan ketika orang tua kami sudah tiada.
Kalau kalah dipengadilan karena tidak punya bukti kenapa mengatakan pengadilannya yang nggak becus. Memangnya dia nggak punya dosa? Memangnya dia tuhan...apa...setan sih. Begitulah omelan yang namanya orang lagi marah.
Sang Ustaz yang dengan sabar mendengarkan curhat itu kemudian membacakan beberapa ayat yang aku tidak paham. Penawar dingin rupanya. Tapi sepertinya sang ustaz wejangkan makna tentang mengambil hikmah, memberikan keteduhan, kharisma sabar, sabar dan sabar.
”Kalau seseorang menuduhkan perbuatan munkar dan dia tidak bisa membuktikannya maka dia akan bertanggung jawab di akhirat kelak, semuanya akan dihitung, ditimbang dan diganjar oleh yang maha adil. Jika itu fitnah maka seluruh dosa orang yang dituduhnya akan ditanggung oleh mereka yang memfitnah”.
Maka serahkanlah seluruh urusannya kepada Allah Maha Pengadil. Malam harinya akupun tidak bisa tidur, karena pada waktu takziah ketika almarhum terbaring sakit, tak sempat terucap mohon maaf kepada beliau. Aku sungguh berduka. (Syam Jr )

No comments: