Saturday, February 23, 2008

Pembunuhan berencana oleh negara?

Vonis Mahkamah Agung telah dijatuhkan kepada Polly Carpus; yaitu terbukti secara syah bersalah melakukan pembunuhan berencana atas Munir. Vonis yang agaknya terlewatkan dari perhatian publik, mungkin karena tenggelam dalam hangar bingar pemberitaan mengenai interpelasi DPR soal dana BLBI atau kasus lain yang sedang ditangani KPK mengenai aliran dana Bank Indonesia ke DPR.
Meski masih ada tahap PK namun pada tahap sekarang hukum memposisikan Negara telah melakukan pembunuhan berencana atas Munir melalui institusi Badan Intelijen Negara ( BIN ) dilaksanakan oleh Polly. Dengan vonis MA tersebut, posisinya sekarang bukan sekadar tuduhan man on the street, tetapi suatu kebenaran materil bahwa memang negara telah melakukannya.
Benarkah? Sesungguhnya saya bertanya dan mencoba menjawab sendiri seperti saya ungkapkan diatas. Hanya saja saya tidak mempunyai pengetahuan hukum. Saya berharap mendapatkan tanggapan atau jawaban dari anda ahli hukum yang mempunyai kompetensi membahas hal ini.

Sunday, February 10, 2008

Renungkan : Hari Pers Nasional

Hari ini Sabtu 9 Februari 2008 apakah masih sebagai Hari Pers Nasional, tapi aku masih menganggapnya begitu. Aku mencoba merenungkan peranan pers dalam kehidupan kita. Pers sebagai institusi kontrol sosial sangat penting, sama pentingnya dengan institusi negara seperti tentara atau lembaga negara lainnya. Nah bagaimana kalau kita tukar fungsinya. Pers kita beri mandat untuk memegang sejata beneran, bedil, meriam, kapal selam, tank, rudal atau minimal ketapel pelontar granat. Tegasnya wartawan jadi tentara dan sebaliknya tentara jadi wartawan.
Bayangkan kalau dalam waktu satu hari saja mungkin ratusan koruptor yang biasanya masuk sasaran tembak headline, mulai hari ini bisa langsung ngejengkang di mana saja. Atau Sbu yang pernah dibidik editorial soal alutista bisa bisa tengkurap di kolong meja. Pengadilan langsung eksekusi, tidak sempat kasasi apalagi PK. Ketinting atau perahu kecil malingsia yang lagi ditambal di pantai Ligitan langsung kena torpedo. Coba deh bayagkan meski hanya sekejap saja. Aku fikir membayangkan saja orang tidak mau apalgi melakoninya.
Tapi bagaimanapun pers adalah hajat hidup bangsa ini. Seperti ungkapan klise freedon of the press is freedom for citizen seringkali dimaknakan sebagai sesuatu yang tidak memerlukan aturan karena akan membelenggu warga merdeka yang memiliki kedaulatan sebagai bangsa merdeka-----------------------------------------------------------
Tentara adalah pemegang mandat kedaulatan rakyat atas wilayah teritorial negaranya. Jadilah TNI yang disegani dan dihormati sehingga bangsa lain akan lebih hormat dan segan terhadap bangsa Indonesia. Tapi jika kita sendiri tidak menghormati TNI maka bangsa lain akan lebih merendahkannya. Memang sudah sepatutnya kita menghormati tentara. Mengapa? Karena dia adalah institusi negara sebagai pemegang mandat tadi.
Ketika suatu bangsa menyatakan kemerdekaanya maka terdapat tiga hal yaitu; Pertama, berdaulat atas diri sendiri yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan berfikir, menyatakan pendapat atau kebebasan pers, bermasyarakat, beroraganisasi, menjalankan hukum yang bermuara pada hak politik setiap warga negara.
Kedua, kedaulatan untuk menentukan nilai atas kreatifitas dan produktivitas setiap warga negara. Wujud kemerdekaan ekonomi dalam bentuk konkritnya adalah nilai tukar atau mata uang. Begitu proklamasi di kumandangkan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tokoh tokoh kompeten mulai merancang nilai tukar yang disebut sebagai Oeang Republik Indonesia atau ORI menggantikan Gulden dan Yen pada saat itu. Kemudian terbentuklah bank sentral sebagai bendahara negara yaitu Bank Negara Indonesia pada 1946.
Ketiga, setiap warga negara berhak mempertahan wilayah teritorial negaranya. Setiap warga negara berhak untuk memegang senjata dalam konteks mempertahakan kemerdekaannya. Akan tetapi untuk memegang senjata dibutuhkan disiplin ketat dan organisasi yang solid. Kalau tidak maka sangat mungkin terjadi saling bunuh antar warga sendiri. Senjata digunakan melakukan pelanggaran hukum dan tindak kriminal.
Negara tanpa organisasi tentara akan menjadi gerombolan orang bersenjata. Karena itu dibutuhkan Tentara Nasional Indonesia yang mendapat mandat dari rakyat Indonesia untuk memegang senjata. Pertanyaan lantas muncul, sejauh mana kita mempersenjatai diri kita secara terukur mumpuni untuk mempertahankan negara ini? Seberapa canggih alat utama sistem persenjataan yang sudah kita berikan kepada TNI? Apalagi jika parimeternya adalah ancaman, jawabannya adalah kita belum cukup baik mempersenjatai TNI untuk mampu mempertahankan teritorial negera ini.

Monday, February 04, 2008

Aku Sungguh Berduka


Bertepatan dengan hari wafatnya Pak Harto, seminggu yang lalu, di kampoengku telah pula berpulang ke rahmat Allah SWT, si fulan bin fulan. Almarhum adalah warga biasa, dia adalah dia, bukan pejabat bukan pula orang jahat. Tanpa kerepotan berlebihan, jenazah diselenggarakan dengan seksama, banyak kerabat melayat termasuk aku melakukan takziah menyampaikan dukacita.
Selesai dimandikan, dikafan, disholatkan, diantar kepemakaman hanya dengan usungan keranda tanpa mobil dengan sirene tolat tolet. Karena memang didesa yang jalannya tidak dapat masuk mobil.
Ketika jenazah masuk keliang lahat dikumandangkan azan diiringi pembacaan surah Yaasin. Keluarga dan kerabat nampak tabah menghadapinya realitas kematian sebagai bagian dari perjalanan menuju keabadian. Tangis meski tanpa air mata memang manusiawi adanya.
Eh, maaf ada satu yang terlewatkan, ketika sholat jenazah dan imam selesai mengucap salam, pada saat itu oleh ustaz ditannyakan kepada seluruh hadirin. Apakah si fulan yang meninggal ini adalah orang yang baik. ”choir” jawab jamaah. Ditanyakan tiga kali dijawab tiga kali. Ada testamen yang menyatakan bahwa almarhum adalah orang yang baik.
Upacara ditutup dengan khutbah talqien, doa dan tabur bunga seadanya. Semuanya serba biasa, almarhum mulai menjalani kehidupan yang lain. Yang luar biasa adalah mereka yang masih hidup.
Menjadi luar biasa karena ada saja yang memberi komentar kepada yang sudah almarhum. Komentarnya itulah yang menimbulkan konflik dan nyaris insiden. Anda ingin tahu bagaiama sih komentar yang nyaris menimbulkan baku bacok. Entah karena terobsesi penyataan para ”tokoh” di teve maupun koran. Dengan nada minor, si Fulus berucap ” ya sebaiknya beliau kita ampuni saja” begitu lagaknya seperti ketua partai kasih komentar sehabis bezuk ke RSPP. Rupanya omongan ini sampai pula ketelinga kerabat dan terus merambat ke ahli waris almarhum.
Dalam fikiran dan adab orang kampung, tak sepantasnya kita yang sehat memposisikan yang sakit sebagai orang bersalah. Apalagi jika dalam keadaan sakaratul maut. Ucapan kita ampuni saja bermakna bahwa yang barusan kita bezuk adalah orang yang bersalah.
Ucapan seperti itu dalam konteks sehabis bezuk terdengar angkuh dan tidak berdasarkan azas humaniter praduga tak bersalah.
Selayaknya kita yang sehat justeru yang berkesempatan minta maaf kepada yang sakaratul maut. Sebab beliau tak mungkin lagi mengucapkannya secara pribadi. Oke kita kembali ke bahasan semula.
Selanjutnya anda bisa menebak bahwa keluarga almarhum minta penjelasan akan yang dimaksud dengan ”diampuni saja” dan siapa saja ”kita” itu tadi. ” Sejak jaman reformasi dia selalu menghujat orang tua kami, mengatakan tanahnya diserobot tetapi tidak bisa membuktikan apapun di pengadilan, meski sejari miringpun dia tidak bisa memberi bukti apa apa, mengapa terus menyebar fitnah bahkan ketika orang tua kami sudah tiada.
Kalau kalah dipengadilan karena tidak punya bukti kenapa mengatakan pengadilannya yang nggak becus. Memangnya dia nggak punya dosa? Memangnya dia tuhan...apa...setan sih. Begitulah omelan yang namanya orang lagi marah.
Sang Ustaz yang dengan sabar mendengarkan curhat itu kemudian membacakan beberapa ayat yang aku tidak paham. Penawar dingin rupanya. Tapi sepertinya sang ustaz wejangkan makna tentang mengambil hikmah, memberikan keteduhan, kharisma sabar, sabar dan sabar.
”Kalau seseorang menuduhkan perbuatan munkar dan dia tidak bisa membuktikannya maka dia akan bertanggung jawab di akhirat kelak, semuanya akan dihitung, ditimbang dan diganjar oleh yang maha adil. Jika itu fitnah maka seluruh dosa orang yang dituduhnya akan ditanggung oleh mereka yang memfitnah”.
Maka serahkanlah seluruh urusannya kepada Allah Maha Pengadil. Malam harinya akupun tidak bisa tidur, karena pada waktu takziah ketika almarhum terbaring sakit, tak sempat terucap mohon maaf kepada beliau. Aku sungguh berduka. (Syam Jr )